Kategori
Berita

NU antara Keaswajaan dan Kebangsaan

DatDut.Com – “Nahdlatul Ulama itu organisasi yang unik,” celetuk Badrun, yang kemudian disahut Dul, teman sejawatnya, “Unik di mananya?”.

“Unik, karena biasanya organisasi itu berkiprah lebih dulu di tempatnya didirikan. Tapi NU beda. Dia justru berperan di luar negeri dulu daripada di dalam negeri,” jawab Badrun.

Memang, ditilik dari sejarahnya, berdirinya NU dipicu oleh pergolakan yang terjadi di tanah Hijaz yang kini bernama Saudi Arabia.

Saat itu, penguasa baru Hijaz (klan Ibn Saud) yang telah melepaskan diri dari Kekhalifahan Turki Utsmani bermaksud menerapkan mazhab beragama mereka, Wahabiyah, yang dikenal dengan nama kekinian, Salafi.

Tapi jangan harap mendapatkan pengakuan dari mereka bahwa mazhab yang dijalaninya adalah mazhab yang dihidupkan oleh Muhammad bin Abdulwahhab.

Mereka yang gemar disebut muwahidun, selalu menautkan ajaran mereka kepada para salafunasshalihin bukan pada putra ulama Hanabilah terkemuka Nejd, Syekh Abdulwahhab, itu.

Pada awal kekuasaannya, rezim Ibn Saud dengan segera mengejawantahkan apa yang digariskan dalam ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Salah satu di antaranya adalah memberangus peninggalan umat Islam terdahulu yang dianggap sebagai biang kesyirikan.

Agresivitas semacam inilah yang merisaukan para ulama ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Salah satunya adalah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang telah kembali dari ngangsu kawruh-nya di jazirah Arab.

Dari situlah, para ulama aswaja dari beberapa daerah berkumpul dan kemudian mengutus perwakilannya untuk menghadap raja Saudi Arabia, Ibn Saud.

Untuk itu, diinisiasilah organisasi para ulama dengan nama jam’iyyah Nahdlatul Ulama, pada 31 Januari 1926.

Selain berkiprah di lingkup keaswajaan, NU turut berkontribusi dalam usaha mewujudkan kemerdekaan republik ini.

NU, tak terbantahkan adalah organisasi yang berisikan orang-orang nasionalis. Asa untuk lahir menjadi sebuah bangsa merdeka tumbuh subur dalam sanubari para ulama NU dan ditularkan kepada para santri mereka.

Tak cuma menempuh jalan perjuangan bersenjata, orang-orang NU pun mengisi kursi-kursi diplomasi.

Salah 1 peristiwa monumental yang dikenang hingga kini ialah pertempuran hebat 10 Nopember 1945 yang dipicu oleh dimaklumatkannya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. 22 Oktober 1945.

Sebuah perubahan besar terjadi pada era kepemimpinan KH. Abdulwahhab Chasbullah, yang pada 1950 diangkat sebagai Rais ‘Aam menggantikan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang meninggal pada 1947.

NU masuk ke dunia politik selepas mundur dari partainya umat Islam kala Orde Lama, Masyumi. Langkah berani yang dilakukan Partai NU kala itu adalah mendampingi Soekarno dalam ideologi Nasakom-nya, sehingga julukan kyai Nasakom lekat pada Kyai Wahhab.

Namun itu tak menjadi soal bagi beliau. Lebih baik memperbaiki dari dalam dengan masuk ke organ pemerintahan daripada berteriak dari luar, begitu kira-kira bahasanya.

Pada akhirnya, selepas PKI diumumkan sebagai partai terlarang pada 1965, NU pun ikut membersihkan anasir-anasir PKI dari tubuh NKRI.

Peran serta politik orang-orang NU berlanjut saat terjadi fusi partai Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru.

Pada masa ini pula, NU sebagai ormas Islam terbesar di tanah air mengalami percobaan “aneksasi” oleh penguasa.

Adalah Muktamar NU ke-29 di Cipasung di tahun 1994 yang menjadi saksi bagaimana usaha rejim Soeharto untuk menjinakkan NU yang kala itu dikomandani Gus Dur dengan cara memunculkan calon ketum PBNU dari internal NU.

Namun Gus Dur yang dinilai kritis pada pemerintah itu akhirnya kembali memimpin PBNU setelah melalui proses penggalangan suara yang cukup meneganggangkan.

Pada era reformasi, peran kebangsaan NU tak luntur. Selain berkiprah dalam berbagai partai, nahdliyyin melanggengkan semangat nasionalisme NU dalam langkah nyata memerangi paham transnasional anti kebangsaan diantaranya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

NU yang mendukung langkah pemerintah dalam memberangus HTI, dicibir sedemikian rupa bahkan dicap sebagai kumpulan orang Islam yang anti Islam.

Sebuah narasi yang amat mudah ditelan oleh golongan awam yang kurang memahami hakikat perjuangan Hizbut Tahrir.

NU, bagaimana pun juga adalah sebuah gerakan yang memberikan warna dan diwarnai oleh perjalanan demokrasi di republik ini.

Tak heran, jika NU (dan Muhammadiyah) dinominasikan sebagai penerima nobel perdamaian oleh seorang guru besar Antropologi Universitas Boston, Amerika Serikat, Robert W. Hefner.

Kini, di usianya yang menjelang seabad, NU harus tetap berusaha menjadi organisasi relijius nasionalis yang menjaga keutuhan negara bernama Indonesia ini.

Dirgahayu Nahdlatul Ulama!

Exit mobile version