DatDut.Com – Sikap Nahdlatul Ulama (NU) mengenai pemimipin non-Muslim sudah jelas. Tidak boleh keculai dalam keadaan darurat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam hasil keputusan pada Muktamar XXX di PP. Lirboyo. Kemudian, kepemimpinan non-Muslim ini dibahas kembali oleh LMB PC NU Surabaya dalam forum Bahstul Masa’ilnya.
Namun, keputusan jam’iyah NU di atas tidak sepenuhnya ditaati oleh jamaahnya. Masih banyak orang NU yang memilih non-Muslim. Bahkan, menjadi tim suksesnya. Hal ini bisa kita artikan, produk hukum NU tidak mengikat untuk jamaahnya sendiri. Kenapa? Kalau yang penulis pahami dari tulisan-tulisan yang beredar di media, orang NU itu alim-alim. Tahu kitab. Sudah biasa berbeda pendapat. Jadi santai saja!
Berpendapat tidak sama dengan NU boleh-boleh saja. NU memutuskan memilih pemimpin tidak boleh, siapa saja boleh berpendapat memilih pemimpin non-Muslim itu boleh. Termasuk orang NU sendiri. Tapi, tahu dirilah. Pendapat yang menyalahi keputusan NU jangan diatasnamakan NU. Katakana saja, ini pendapat peribadi. Selesai.
Masalahnya, banyak orang berpendapat ini dan itu, kemudian mengatasnamakan NU. Ini dari NU. Beginilah pendapat NU. Dan seterusnya. Kalau tidak bilang begitu, ditulis di bawah gambar videonya, “Ketua PBNU”. Keren. Padahal, pendapatnya sangat berbeda dengan pendapat NU secara kelembagaan. Jadinya, NU yang mendapat getahnya. Orang-orang yang ada di pojok sana mengatakan, “Yo opo NU (bagaimana NU ini)?”
Yang lebih ironi lagi ketika keputusan NU ditafsiri sekehendak hati. Misalnya, masalah hasil keputusan NU di lirboyo di atas. Mereka mengatakan, keputusan NU itu tidak bisa dibuat landasan haramnya memilih non-Muslim. Karena keputusan Muktamar Lirboyo berkatian dengan DPR, bukan gubernur atau presiden. Dan banyak lagi alasannya.
Kenapa harus ditafsiri begitu? Bukankah Rais Aam NU, K.H. Makruf Amin sudah menegaskan wajib memilih pemimpin Muslim berdasarkan qararat (keputusan) NU muktamar Lirboyo?
Kalau mau berbeda pendapat, berbedalah. Tidak apa-apa. Tapi, tidak usah mengatasnamakan NU. Tidak usah mengutak-ngatik qararat NU. Katakan saja pendapat peribadi dan tidak ada kaitannya dengan NU. Bukankah orang NU pasti menghormati NU, keputusan NU, kiai NU, dan “apa-apanya” NU?
Sadarlah, NU didirikan oleh para ulama dan waliyullah. Orang yang mengabdi pada NU, pasti medapat berkahnya. Orang yang merusak NU, pasti mendapat getahnya. Kata orang Madura, “Manabi jeddingah rajeh, pacarrennah rajeh jugen (kalau tempat penampungan airnya besar, gotnya juga besar).” Maksudnya, kalau berkahnya besar, balaknya juga besar.
NU sudah jelas jalannya. Sudah jelas garis perjuangannya. K.H. Hasyim Asyari juga sudah menuliskan qanun asasinya. Ahulussunah Wal Jamaah adalah ideologi yang diperjuangkannya. Maka, jika kita mengaku NU, hormatilah jam’iyah NU. Hormati qararat NU. Jika tidak, jangan heran kalau ada yang mengatakan, “Tahlilan sih tahlilan, tapi tidak pernah jum’atan” atau “Qunutan sih qunutan, tapi tidak takbiratul Ihram.”