DatDut.Com – Ada kawan yang secara khusus mengetag (menandai di Facebook) saya di postingan tabayun Pak Ishomuddin. Ada juga yang mengetag dengan meminta saya untuk tabayun langsung pada Pak Ishom. Bahkan, ada yang mengetag saya dan dengan lucunya menanyakan sudahkah tafsir yang dirujuk Pak Ishom itu saya baca.
Ketika ditag itu, saya geli-geli gimana gitu. Memang ketika saya membuat surat dan nasihat terbuka untuk Pak Ishom itu karena saya benci dia? Bukan! Saya tak ada masalah pribadi dengan yang bersangkutan (ybs). Kenal pun tidak.
Tapi meskipun tidak kenal, bukan berarti saya tidak mengikuti jejak pemikiran dan pernyataannya, terutama soal keberpihakannya pada si penista dan pemahamannya soal al-Maidah 51.
Insya Allah saya paham sepenuhnya apa yang dia sampaikan. Karenanya saya juga berani mengkritik terbuka karena saya berasumsi bahwa ybs punya tendensi dan intensi untuk memonopoli tafsiran atas ayat itu.
Kalau di tulisan tabayun ybs menyatakan ayat itu tidak tunggal tafsirannya, saya paham sekali. Tapi nyata sekali dalam tulisan dan pernyataan dia, seolah ada kesengajaan untuk menafikan ada pendapat mufasir dan mutarjim Alquran yang menyatakan bahwa kata awliya itu bermakna ‘pemimpin’.
Saya tentu juga membuka beberapa tafsir yang dia rujuk dan saya paham sepenuhnya bahwa ada perbedaan tafsir terkait ayat itu. Memang tafsir yang saya buka tidak sebanyak yang diklaimnya telah dibuka. Toh saya bukan saksi ahli. Sebagai saksi ahli–tentu saja bila benar ybs membuka–sangatlah wajar bila ybs membuka tafsir sebanyak itu. Saksi ahli konon kan juga ada honornya.
Lalu, mengapa saya berani membuat surat dan nasihat terbuka untuknya? Jawabannya, karena saya merasa ada yg janggal dengan keberpihakan dan kekeukeuhannya membela penista, meskipun sikap PBNU melalui K.H. Ma’ruf Amin dan K.H. Miftakhul Akhyar sudah sangat jelas.
Bagi saya, ada yang aneh dan janggal dalam sikap ybs sebagai seorang Nahdliyyin kepada para ulama sepuh. Tolong dikoreksi kalau saya salah. Saya selama ini belum pernah mendengar ada orang NU yang berani menentang secara terbuka kepada apa yang menjadi sikap dan pendapat para kiai sepuh.
Orang selevel Ulil Abshar Abdalla yang dianggap dedengkot liberal saja, tak pernah terdengar melawan para kiai sepuh. Bahkan orang sekelas Gus Dur sekalipun.
K.H. Mansur Kholil Lasem (kakak ipar K.H. Sahal Mahfudh), kiai saya, menuturkan pada saya bahwa Gus Dur tak berani berkata sepatah kata pun ketika dinasihati Kiai Mansur soal sepak terjang Gus Dur yang saat itu jadi Ketua PBNU. Itulah adab orang NU.
Kalau ybs begitu keukeuh membela penista dan bahkan secara terbuka menunjukkan perlawanannya terhadap sikap Syuriah PBNU, tentu orang dengan mudah mencurigainya. Karena itu jelas bukan adab dan tradisi seorang NU.
Bahwa dalam tradisi NU biasa terjadi perbedaan pendapat, saya tentu sangat tahu. Dari kecil, abah saya yang kerap mewakili Kota Pasuruan dalam beberapa kali muktamar NU, selalu bercerita soal panas dan serunya diskusi dan perdebatan di arena muktamar.
Dari buku-buku tentang NU yang saya baca, saya juga kerap dipertemukan dengan perbedaan pendapat yang keras di tubuh NU. Namun, ada kata kunci yang biasa mengakhiri perbedaan dan perdebatan sepanas apa pun. Kalau sudah ada sikap dari para kiai sepuh dan ada keputusan PBNU, semua tunduk.
Nah, kita yang mengikuti pernyataan dan sikap ybs dari awal kasus ini, akan paham bahwa ada adab orang NU yang tidak diperhatikan oleh ybs. Dan, bagi orang yang tumbuh dalam tradisi NU, pasti janggal melihat itu.
Itulah alasan kenapa saya berani membuat surat dan nasihat terbuka untuknya. Intinya apa yang saya tulis, itu sudah saya pikir secara mendalam dan saya kaji dengan hati-hati. Karena saya menyadari, dengan hati-hati saja, saya beberapa kali salah, apalagi kalau saya tak hati-hati. Jadi, kalau mau mengetag saya, juga perlu hati-hati. Jangan-jangan ada sesuatu yang saya tahu tapi tak diketahui oleh orang yang mengetag itu.